Jakarta, kabarsenayan.com. —Penyedia jasa keuangan memainkan peran penting dalam perlindungan anak khususnya dalam memerangi eksploitasi seksual anak yang terus terjadi di Indonesia. Salah satu penyebab maraknya kasus eksploitasi seksual anak adalah adanya imbalan yang dibayarkan oleh orang yang membeli layanan eksploitasi seksual anak kepada korban anak . Melalui audit berkala dan peninjauan terhadap program proling dan pemantauan transaksi, penyedia jasa keuangan dapat mengidentifikasi dan menghentikan transaksi keuangan yang terkait dengan eksploitasi seksual terhadap anak.
Di Indonesia sendiri, terdapat 9.588 anak menjadi korban kekerasan seksual, 4.162 anak menjadi korban kekerasan psikis, 3.746 anak menjadi korban kekerasan fisik,1.269 anak yang menjadi korban penelantaran, 219 anak menjadi korban tindak pidana perdagangan orang (TPPO) dan 216 anak menjadi korban eksploitasi pada tahun 2022.
Pelaku tindak pidana eksploitasi seksual anak telah menggunakan lembaga keuangan untuk melakukan transaksi keuangan. Lembaga keuangan sengaja dimanfaatkan untuk menyamarkan asal usul uang tersebut. Selain itu, semakin berkembangnya informasi dan teknologi, transaksi online pun dilakukan. Terjadi trend secara global dan nasional para pelaku kejahatan seksual anak ini menggunakan metode pembayaran yang memanfaatkan lembaga keuangan non-bank, misalnya layanan pengiriman uang, transaksi melalui e-wallet, atau transaksi keuangan lainnya yang sulit terdeteksi oleh PPATK.
Baru-baru ini, Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) juga menemukan adanya transaksi keuangan sebesar Rp 114 miliar terkait tindak pidana perdagangan orang (TPPO) dan pornografi anak. Pelacakan PPATK tersebut berhasil diungkap melalui aktivitas transaksi perbankan. PPATK menyatakan banyak pelaku kejahatan seksual anak memanfaatkan dompet digital / e-wallet untuk pembayaran seksual. Hal ini tentunya menjadi temuan yang memprihatinkan, karena anak yang diperjualbelikan untuk tujuan seksual sehingga jumlahnya sangat fantastik. Untuk perlu adanya keterlibatan dari jasa penyedia keuangan untuk membantu mencegah hal ini terus terjadi.
Untuk itu ECPAT Indonesia dan Asosiasi Fintech Indonesia (AFTECH) bekerja sama dalam meningkatkan peran dan kesadaran para lembaga jasa penyedia keuangan dengan menyelenggarakan Pertemuan Multipihak “Bringing Together Financial Leaders to Protect Children.” Yang melibatkan beberapa pemangku kepentingan seperti Pemerintah, Penegak Hukum, Lembaga Layanan Korban, Asosiasi sektor keuangan, Perusahaan Teknologi Finansial, Perbankan dan perusahan Kripto untuk sama-sama membangun kesadaran dalam melindungi anak dari penyalahgunaan fintech oleh pelaku eksploitasi seksual anak.