Jakarta, kabarsenayan.com. — Salah satu peristiwa penting dalam sejarah perjuangan bangsa yang tidak boleh dilupakan adalah berdirinya Pemerintahan Darurat Republik Indonesia (PDRI) di Bukit Tinggi, Sumatera Barat. Latar belakang PDRI didasari oleh ancaman kolonial Belanda terhadap eksistensi negara RI yang baru saja diproklamirkan. Belanda masih memiliki keinginan kuat untuk melanggengkan kekuasaan politik kolonialismenya. Untuk mewujudkan hal tersebut Belanda merancang dua operasi militer. Operatie Product dan Operatie Kraai, adalah dua operasi militer (oleh Belanda disebut sebagai aksi polisionil) yang dilancarkan Belanda dengan menggempur posisi-posisi kekuatan bersenjata Indonesia. Operatie Product (Agresi Militer I) berlangsung pada Juli hingga Agustus 1947 dipimpin Jenderal Johannes van Mook namun gagal mencapai tujuan menguasai pulau Jawa dan Sumatera. Merasa gagal, Belanda kemudian menyusun kembali rencana Operatie Kraai atau yang lebih dikenal sebagai aksi militer II dipimpin langsung Jenderal Simon Hendrik Spoor bersama Kolonel Dirk Adelberg van Langen. Sasaran operasi ini menargetkan ibukota negara dan para pemimpin nasional kala itu. Serbuan terjadi pada 19 Desember 1948 dinihari diawali serangan udara disusul serbuan pasukan payung Belanda dan dibarengi serangan darat dari Semarang membuat Jogyakarta yang saat itu menjadi ibukota negara RI berhasil diduduki Belanda, Soekarno dan Hatta yang menjabat presiden dan wakil presiden bersama tokoh-tokoh nasional lainnya berhasil ditawan Belanda. Jatuhnya ibukota pemerintahan RI merupakan pukulan telak dan menjadi titik krusial bagi negara RI yang baru merdeka. Sejurus kemudian Soekarno sebagai presiden RI memerintahkan kepada Syafruddin Prawiranegara segera membentuk Pemerintahan Sementara di Bukit Tinggi untuk menjalankan roda pemerintahan serta menyiapkan exile government di India sekiranya PDRI tidak bisa berfungsi sebagaimana seharusnya. Peristiwa heroik ini menjadi salah satu tonggak dalam perjalanan sejarah bangsa yang harus senantiasa terpatri dalam benak kita sebagai bangsa berdaulat. PDRI adalah penyelamat eksistensi negara yang kemudian dijadikan sebagai momentum peringatan Hari Bela Negara yang jatuh pada tanggal 19 Desember. Hal itu diatur dalam Keputusan Presiden (Kepres) RI Nomor 28 Tahun 2006 yang diperingati setiap tahun .
Spektrum Bela Negara
Bela negara, adalah sikap, perilaku, dan tindakan warga negara, baik secara perseorangan maupun kolektif dalam menjaga kedaulatan, keutuhan wilayah, serta keselamatan bangsa dan negara. Bela negara adalah hak dan kewajiban setiap warga negara untuk melakukan yang terbaik untuk bangsa dan negaranya. Setiap warga negara apapun status, golongan dan profesinya memiliki tanggungjawab yang sama terhadap negara. Para pendiri bangsa telah mendarmabaktikan seluruh hidupnya demi berdirinya negara Indonesia. Dasar-dasar fundamental bernegara telah dikokohkan melalui serangkaian perjuangan panjang yang tak kenal menyerah. Wilayah Indonesia adalah palagan peperangan dimana hampir semua rakyatnya terlibat dalam perjuangan melawan kolonialisme. Indonesia adalah tanah tumpah darah menjadi ikatan pertalian kebangsaan yang menuntut komitmen bersama sesama warga negara untuk menjaga dan merawat ke-Indonesiaan sebagai warisan kebangsaan. Siapapun yang merasa bangsa Indonesia hendaknya menanamkan kesadaran tinggi dalam dirinya untuk menjaga dan merawat tanah air dan bangsa. Semua elemen bangsa mesti terlibat dalam semua aspek kehidupan berbangsa dan bernegara sesuai peran dan fungsi masing-masing. Atmosfere bela negara harus dapat dibangun oleh semua lapisan masyarakat sebagai prasyarat ketahanan nasional. Dalam konteks negara, rakyat, teritori dan pemerintah adalah elemen dasar ditambah pengakuan kedaulatan dari dunia internasional. Ketiga elemen itu harus menyatu dan menyublim sebagai bentuk utuh dari sebuah negara bangsa yang nantinya menjadi daya tahan terhadap tantangan sekeras apapun. Ketahanan nasional dibangun dari sejumlah unsur ketahanan seperti politik, ekonomi, sosial budaya, militer, geografi, demografi, kekayaan alam yang terfragmentasi dalam semua dimensi kehidupan. Soliditas seluruh unsur akan menjadi emanasi dan memiliki resonansi ditingkat global. Kita ingin mengukir kejayaan Indonesia yang dibangun dan ditopang oleh kekuatan nasional yang kita miliki. Jelang satu abad Indonesia Merdeka dimana bonus demografi menanti dibutuhkan daya tahan bangsa dari beragam ancaman dan yang bisa mengatasi semua itu adalah kesadaran dan ketaatan pada norma yang selama ini menjadi pandu yang telah dicontohkan para founding person kita.
Pemilu 2024 dan Kepemimpinan Bela Negara
Pemilu adalah hal paling elementer dan menjadi ciri negara demokrasi. Esensinya adalah mencari calon pemimpin yang otentik untuk dipilih sebagai pemegang otoritas politik dalam rangka mengabdikan diri menjalankan seluruh amanat konstitusional dari rakyat yang memilihnya. Pemimpin yang dihasilkan dari pemilu yang baik sesuai dengan prosedur demokrasi adalah pemimpin yang memiliki karakter orisinil, memiliki keunggulan dalam kejujuran, moralitas, etika, kapasitas, negarawan dan tentu saja tanggungjawab. Indonesia sangat memerlukan kualitas kepemimpinan yang mumpuni mengingat era Indo-pasifik yang akan menjadi episentrum global dimana Indonesia ada dalam percaturan itu dengan segala tantangan dan dinamikanya memerlukan level pemimpin yang dapat membawa Indonesia meraih keunggulan dalam beragam aspek. Dinamika lingkungan global menuntut kapabilitas dan kapasitas kepemimpinan kuat dalam menghadapi setiap gejolak lingkungan strategis. Apsek struktural, instrument dan kultur harus selalu adaptif terhadap tuntutan zaman dan ketiga hal itu pula yang menjadi filosofi sebuah manajemen perubahan yang menuntut elemen bangsa terus berperan meningkatkan sumber daya menghadapi tantangan era kekinian. Pemilu yang berjalan dan berproses dengan baik sesuai kaidah demokrasi akan menghasilkan pemimpin yang berkualitas ditingkat domestik dan juga internasional. Presiden selaku pemimpin nasional yang akan terpilih ditahun 2024 ini haruslah memiliki komitmen kuat dan sikap tegas yang tidak hanya piawai dalam narasi tetapi mampu diwujudkan dalam tindakan. Penyakit yang melemahkan bangsa kita sekarang ini adalah lemahnya penegakan hukum, korupsi yang terus terjadi, disparitas sosial yang semakin lebar dan polarisasi masyarakat yang rawan konflik menuntut kualitas pemimpin untuk mengurainya. Dalam hal perilaku korupsi diperlukan tindakan tegas dan keras. Sejauh ini pelaku korupsi kurang mendapat hukuman yang setimpal padahal tindak pidana inilah yang membuat Indonesia sulit sejahtera. Presiden yang terpilih nanti harus memiliki komitmen untuk memberantas korupsi sebagai prioritas utama. Dalam hal pemberantasan korupsi, kita sebaiknya mencontoh Cina. Ketika Perdana Menteri Cina Zhu Rongji dilantik Maret 1998 dia berpidato dan isinya sangat monumental yaitu “ untuk melenyapkan korupsi, saya menyiapkan 100 peti mati, sembilan puluh sembilan untuk para koruptor dan satu untuk saya bila saya berbuat sama”. Pidato itu bukan hanya wacana tetapi benar dilaksanakan. Sepanjang menjabat sebagai sebagai Perdana Menteri, Zhu telah menghukum mati 4.300 orang koruptor di Cina. Hasil dari tindakan fantastis ini adalah kita melihat Cina menari bak naga yang siap melilit dunia. Dahulu Napoleon Bonaparte pernah mengingatkan untuk tidak membangunkan naga tidur yaitu Cina. Kini, Cina menggeliat untuk bangkit akibat palu godam Zhu kepada pejabat negara yang jahat dan melecut bangsanya untuk maju yang siap melesat menjadi super power. Akankah presiden RI terpilih 2024 mampu melakukan hal yang sama, mari kita tunggu komitmen politik tahun depan.