Kemerdekaan yang telah kita raih adalah hasil dari perjuangan panjang seluruh elemen bangsa yang saling menguatkan diri untuk bangkit bersama melawan penindasan kolonialisme. Kolonialisme yang menancapkan kekuasaannya di Indonesia menjadi musuh bersama; karena tidak menghormati nilai-nilai kemanusiaan, melahirkan semangat perlawanan yang membahana ke seantero negeri, menumbuhkan kekuatan maha hebat sehingga mampu menumbangkan kekuasaan pejajahan yang membelenggu selama ratusan tahun. Nilai-nilai kebersamaan sebagai akibat dari ketertindasan oleh bangsa lain yang menginjak-injak harkat dan martabat manusia melahirkan solidaritas kebangsaan yang kuat untuk berjuang lepas dari penindasan. Keterjajahan teramat sangat itu merajut ikatan batin yang sangat kuat untuk bangkit manjadi satu bangsa yang kokoh, mandiri dan berkepribadian yang luhur menatap masa depan. Inilah hakekat dari kebersamaan dan kemerdekaan yang kita raih bersama, meninggalkan sekat-sekat primordialisme dan segala perbedaan yang melemahkan kita sebagai bangsa. Persamaan nasib sebagai bangsa terjajah dan tertindas menjadi amunisi pendorong untuk melepaskan diri dari segala kungkungan dominasi asing yang mempreteli derajat kemanusiaan sebagai bangsa. Kesamaan nasib dan penderitaan dibawah deraan penjajahan tersebut menjadi perekat yang mempersatukan dan membentuk bangsa Indonesia hingga hari ini.
Hakikat sebuah bangsa
Bangsa dalam arti sosiologis adalah persekutuan hidup masyarakat yang berdiri sendiri memiliki perasaan senasib dan sepenanggungan mempunyai ikatan kebatinan yang kuat bermukim dalam satu kesatuan wilayah geografis yang sama. Bangsa Indonesia yang ada saat ini terbentuk oleh ikatan batin dan sejarah yang sama khususnya dalam semangat perjuangan mengusir penjajah. Walaupun bangsa Indonesia yang terbentuk saat ini terdiri dari berbagai latar belakang budaya, etnis, agama dan budaya yang berbeda namun telah menjelma menjadi suatu bangsa, yaitu bangsa Indonesia. Kesamaan nasib sebagai akibat penjajahan mendorong semua komponen untuk menyatakan sikap menjadi bangsa Indonesia. Watak kedaerahan (primodialisme), suku dan budaya yang masih tetap ada dan utuh berusaha untuk ditanggalkan lalu kemudian saling mengikatkan satu sama lain dalam semangat persatuan yang luhur untuk mencapai kehendak bersama sebagai bangsa yang sudah memproklamirkan kemerdekaannya.
Dalam pidatonya di Universitas Sorbone Paris Maret 1882 Ernest Renan, mengatahkan bahwa bangsa adalah satu jiwa yang melekat pada sekelompok manusia yang merasa dirinya bersatu karena mempunyai nasib dan penderitaan yang sama pada masa lampau dan mempunyai cita-cita yang sama tentang masa depan. Masih menurut Renan, bangsa merupakan sekelompok manusia yang berada dalam suatu ikatan batin yang dipersatukan karena memiliki persamaan sejarah dan cita-cita yang sama walaupun didalam suatu kelompok manusia terdapat berbagai suku, ras, budaya, bahasa, adat istiadat dan sebagainya. Masa depan yang dimaksud adalah kehendak bersama untuk bangkit menjadi bangsa yang berdaulat dan berkhidmat bagi kemajauan bangsa Indonesia. Pendapat Renan tentang bangsa tersebut kemudian diperkuat oleh Bung Karno dengan mengatakan bahwa Bangsa adalah sekelompok besar manusia yang mempunyai keinginan kuat untuk bersatu, mempunyai persaamaan watak, dan hidup bersama dalam satu wilayah yang nyata. Indonesia yang ada seperti sekarang ini adalah bangsa yang lahir seperti apa yang dikatakan Renan maupun Bung Karno. Adanya keinsyafan akan penderitaan yang sama menjadi dorongan batin yang kuat untuk lahir menjadi bangsa yang satu, Indonesia. Indonesia adalah sebuah bangsa yang lahir dari kehendak bersama dengan menanggalkan watak primordialitas menuju watak nasional sebagai buah dari patriotisme untuk keluar dari penindasan kolonialisme. Meleburnya watak etnosentrisme menjadi kekuatan pokok dalam berjuang keluar dari belenggu penindasan asing. Kesadaran nasional mendorong semua elemen masyarakat meneguhkan kesadaran kebangsaan untuk tampil sebagai bangsa pemenang dalam melawan kolonialisme. Patriotisme dan nasionalisme menjadi nilai penting dalam menghadapi tantangan yang dapat mengancam keutuhan nasional. Patriotisme adalah semangat cinta tanah air atau sikap seseorang yang sudi mengorbankan segala-galanya untuk kejayaan dan kemakmuran tanah airnya, sedangkan nasionalisme adalah paham atau ajaran untuk mencintai bangsa dan negara sendiri.
Kita mampu memenangkan peperangan panjang melawan dominasi asing karena kita bersatu padu, menanggalkan semua sekat-sekat etnik yang menjadi penghambat, fikiran dan tindakan kita satukan serta diorientasikan untuk kepentingan yang sama, yaitu mencapai kemerdekaan. Merdeka adalah tujuan utama karena kemerdekaan adalah pintu gerbang/jembatan emas menuju kearah yang diharapkan. Upaya tersebut tentu tidak mudah, jiwa raga dan harta benda serta penderitaan menjadi taruhan utamanya, namun tekad kuat yang dilandasi oleh semangat bersama untuk bebas merdeka melalui perjuangan yang tak kenal menyerah melawan penjajahan kemudian melahirkan jiwa-jiwa patriotik dan nasionalisme tinggi. Semangat patriotisme dan nasionalisme inilah yang menjadi modal dan landasan kuat yang harus tetap dipertahankan oleh bangsa Indonesia bila ingin tetap bertahan dalam menghadapi gempuran tantangan dan ancaman dari dalam dan luar negeri.
Ancaman yang menghantui
Sebagai bangsa merdeka yang belum sampai pada usia se-abad, Indonesia masih mengalami berbagai macam turbulensi yang dapat menggerus ikatan kebangsaan kita. Masalah perbedaan suku, agama, ras dan antar golongan (SARA) yang dahulu kala ketika masih dibawah penjajahan kolonialisme menjadi komponen kekuatan yang berhasil dipadukan mengusir penjajah kini menjadi potensi ancaman serius yang dapat menghancurkan bangsa Indonesia dari dalam. Dalam konteks ini kita patut renungkan pesan Douglas MacArthur seorang jenderal dari AS yang legendaris diera Perang Dunia II pernah mengingatkan bangsanya dengan mengatakan “ Saya prihatin atas keamanan bangsa kita yang besar, ancaman dari luar tidak begitu banyak, tetapi justru berbahaya dengan ancaman laten dari dalam”. Bagi bangsa Indonesia, ancaman dari dalam negeri memang terasa lebih berbahaya sebab amat laten, berbaur, sulit diidentifikasi, sehingga sangat sulit mendeteksi mana kawan dan lawan. Pantaslah Soekarno dalam satu kesempatan beliau pernah mengatakan bahwa “ perjuanganku lebih mudah karena harus menghadapi musuh dari luar, perjuanganmu akan lebih sulit karena harus berhadapan dengan bangsamu sendiri. Pernyataan kedua tokoh tersebut (Mac Arthur dan Soekarno) itulah belakangan ini terasa sangat kental menggerogoti kita sebagai bangsa.
Soliditas yang kita bangun sebagai bangsa sejak proklamasi dikumandangkan 72 tahun lalu seolah menjadi rapuh digerus oleh perilaku sebagian elit/kelompok yang kurang mengedepankan nilai-nilai persatuan. Ujaran kebencian bernuansa SARA yang tentu saja melukai perasaan sesama anak bangsa sudah jamak terdengar dan terlihat akhir-akhir ini. Demi untuk dan atas nama kelompok kita saling memaki seolah akar budaya agung berupa tepa selira, andap asor, ngajeni dan ajaran luhur sejenisnya tidak pernah kita kenali dan miliki. Kita seolah kehilangan arah dalam berbudaya, berbangsa dan bernegara karena nilai-nilai luhur yang selama ini menjadi instrumen kendali sosial kita seolah hilang tergantikan dengan nafsu untuk berkuasa meniadakan satu sama lain tanpa etika dan moral. Elit politik yang menjadi pengendali negara seharusnya digugu dan ditiru dalam berperilaku serta berbudaya santun penuh kearifan gagal memberi contoh yang baik. Negara beserta instrumennya rapuh dalam berhadapan pelaku-pelaku politik yang tak beretika sehingga menimbulkan goncangan dalam kehidupan sosial dan politik. Hari-hari ini para elit kita sibuk dengan dirinya dan kelompoknya sehingga kebhinnekaan yang menjadi esensi kekuatan bangsa kita menjadi terbaikan dan terlupakan. Padahal segala perbedaan yang terbingkai dalam kebhinnekaan kita sangat penting untuk selalu dirawat dan dijaga sebab disitulah letak roh kekuatan nasional Indonesia. Para elit kita seolah lupa untuk berfikir bagaimana bangsa ini dikelola dengan baik untuk kepentingan seluruh elemen bangsa. Dalam pemikiran dan tataran praksis perilaku politik yang dimainkan tidak mencerminkan kepentingan untuk menjaga keutuhan bangsa, cara berfikir egosentrisme dan mengedepankan kepentingan kelompok/golongan menjadi ciri berpolitik para elit kita saat ini. Benturan kepentingan antar kelompok elit yang tidak merepresentasikan kepentingan seluruh elemen bangsa, perilaku korupsi yang seolah tanpa henti, sikap dan tingkah laku serta perangai yang kurang pantas sebagai manusia Indonesia yang berbudaya merupakan patologi yang dipertontonkan oleh elit didepan publik kemudian berdampak kepada sikap dan tingkah laku warga masyarakat. Masyarakat kita saat ini sangat mudah terprovokasi untuk berkonflik satu sama lain, mudah tersulut emosi untuk hal-hal yang sangat sepele, keharmonisan seolah mulai lenyap dari bumi Indonesia yang dahulu damai dan aman. Segregasi elit yang meluas seolah berbanding lurus dengan sikap dan perilaku warga masyarakat yang tentu saja sangat merugikan persatuan kita sebagai bangsa dan ini menjadi titik masuk bagi anasir asing untuk menancapkan pengaruhnya di Indonesia. Elit sebagai kelompok penentu dan pengambil kebijakan yang diberi kesempatan untuk memerintah dan mengatur negara seharusnya berfikir nasional yaitu bagaimana Indonesia bisa tetap eksis dan lebih maju, jauh dari perpecahan sebab para pendahulu kita yang berasal dari berbagai kalangan sudah sepakat untuk bersama mendirikan negara Indonesia. Diusia 72 tahun kemerdekaan ini memang sangat terasa bahwa kita telah lama kehilangan tokoh panutan yang semua perkataan dan perbuatannya selaras, tokoh yang mempersatukan dan mengayomi masyarakatnya, tokoh yang sudah selesai dengan dirinya sehingga orientasi pemikiran dan perjuangannya hanya untuk kepentingan nasional. Padahal berfikir nasional adalah kunci sukses menggapai cita-cita sesuai yang termaktub didalam UUD 1945. Berfikir nasional adalah sikap seseorang terhadap kesadaran bernegara yang menjangkau jauh kedepan karena kompleksitas dan komprehensifitas kontemplasi pemikiran sebagai refleksi dari kualitas pribadinya yang mumpuni. Cara berfikir nasional mempunyai ciri khusus berupa norma objektif yaitu mengutamakan kepentingan kehidupan nasional. Cara berfikir nasional merupakan antitesis cara berfikir kedaerahan, kepartaian/golongan, apalagi untuk diri sendiri. Meninggalkan cara berfikir nasional berarti mengingkari watak kenasionalannya. Jika seseorang menyebut dirinya nasionalis tanpa menerapkan cara berfikir nasionalis maka ia adalah nasionalis gadungan hanya pandai bersilat lidah mementingkan citra pribadi penuh slogan tanpa isi dan makna bagi kemanusiaan. Selamat HUT RI ke 72, semoga Indonesia tetap eksis menapaki jalan sejarah yang semakin tidak mudah.